Apakah Orang yang Berpikir Kritis Pasti Pintar di Akademis?
- Dewisri Mulyanita
- Jan 16, 2022
- 4 min read
Berpikir Kritis dan Verifikasi Akademik
Apakah kamu pernah dengar atau baca kata-kata seperti ini?
“Kritis banget dia. Pasti rangking 3 besar di kelas.”
Atau
“Ah, dia pinter akademis, doang. Tapi ga kritis.”
Tapi apa kamu sempat kepikiran soal “apa iya orang pinter akademis ada yang nggak kritis” atau sebaliknya? Kalo penasaran jawabannya, yuk, simak seluruh pembahasannya biar jadi paham.
Biar lebih mudah dipahami, isi bahasannya dibagi kedalam 3 sub bahasan, yaitu:
Definisi
a) Nilai akademis tinggi
Biasanya kalo denger kata “pinter” atau “pintar” yang pertama kali terpintas dipikiran itu orang dengan nilai rapot atau IPK yang tinggi. Oleh sebagian orang, mereka dianggap berhasil dalam bidang akademis. Jadi, dibahasan ini, konteksnya itu yang nilai akademisnya tinggi, ya.
Untuk mencapai keberhasilan akademis, pelajar bergantung pada seberapa kemampuannya dalam mempertanyakan suatu hal, mencari tahu sesuatu dari berbagai sumber, menghubungkan antar pengetahuan yang dimiliki, merangkumnya, menilainya, dan mampu menyampaikannya kepada orang lain. Hal ini perlu didukung oleh kemampuan berpikir kritis yang, secara otomatis, akan meningkatkan kemampuan mengingat dan memahami materi pembelajaran.
b) Berpikir kritis
Berpikir kritis bukanlah kemampuan bawaan sejak lahir dan tidak berkembang secara alami (baca: tanpa arahan/bimbingan). Orang yang memiliki pemikiran kritis adalah orang dengan kemampuan dalam menganalisis sesuatu untuk menilainya. Jadi, dia tidak cepat percaya pada suatu informasi dan akan menganalisisnya. Dia akan bertanya-tanya mengenai kebenarannya, lalu menilai/mengkritiknya. Dia akan memproses semua itu kedalam 3 tahap, yaitu:
a. Deduksi
b. Induksi
c. Abduksi
Dia selalu berusaha untuk mengembangkan dirinya dalam hal yang diinginkan dan diperlukan. Tentunya, untuk mencapainya, dia membutuhkan pengetahuan intelektual untuk berkembang. Dengan berpikir kritis, dia akan lebih mudah memahami materi yang diberikan. Bukan hanya secara tekstual dan visual, tapi juga memahami makna yang terkandung.
Kaitannya
a) Apakah nilai akademis tinggi mempengaruhi dalam mengembangkan pemikiran kritis?
Dalam berpikir, ada 6 tingkatannya, yaitu:
1. Mengingat/menghafal (tingkat rendah)
2. Memahami
3. Menerapkan
4. Menganalisis (tingkat tinggi)
5. Evaluasi
6. Menciptakan/berkarya
Jika dikaitkan dengan penilaian akademis dari sekolah, sebagian pelajar akan lebih berfokus pada menghafal saja. Berbagai penyebabnya. Salah satunya adalah karena pelajar tidak memahami materi yang diberikan. Maka, dengan diberikan ujian yang memerlukan pemahaman (tingkatan berpikir ke 2), pelajar akan kesulitan. Sedangkan, tidak sedikit soal ujian yang mengandalkan pemahaman. Maka, hasil/nilai akademis tidak begitu tinggi.
b) Apakah pemikiran kritis yang tinggi mempengaruhi nilai akademis?
Seperti yang sempat disebutkan pada sub bahasan mengenai definisi berpikir kritis bahwa pemikiran kritis yang tinggi akan mempengaruhi nilai akademis. Karena untuk berpikir kritis (baca: menganalisis dan menilai) diperlukan pengetahuan intelektual. Tapi “intelektual” disini berarti luas. Belum tentu pengetahuan yang dibutuhkan langsung berkaitan atau berasal dari pembelajaran di sekolah.
Mason (2007), Rudd (2007), Kosciulek dan Wheaton (2003) mengemukakan simpulan mengenai orang dengan pemikiran kritis tinggi dan kemampuan komunikasi yang baik akan lebih mudah dalam beradaptasi dengan keadaan serta dihargai baik dalam konteks akademik dan dunia kerja.
c) Apakah berpikir kritis dan nilai akademis saling berkaitan?
Saling berkaitan, tapi pengaruhnya tidak begitu besar. Rahmat Rasmawan (2017) dalam jurnalnya menyatakan bahwa hubungan antara kemampuan berpikir kritis dan indeks prestasi komulatif lemah. Jadi, tidak ada jaminan mahasiswa dengan nilai akademis tinggi akan memiliki kemampuan berpikir kritis tinggi, dan begitu juga sebaliknya. Mereka belum bisa menerapkan proses berpikir yang diberikan (yang tidak eksplisit) dalam pembelajaran (terutama sains). Dengan sampel yang terlalu kecil ini, pernyataan ini tidak bisa untuk patokan utama dalam menilai masyarakat umum.
Penyebab dari Kurang Kritisnya Pelajar
a) Apakah kesalahan pelajar karena tidak berinisiatif/mandiri mempelajari bidang akademik maupun cara berpikir kritis?
Belum tentu. Faktor lingkungan, kelas sosial, lokasi, dan lainya juga turut berperan dalam pembentukan pola pikir/pemikiran pelajar untuk kritis.
Weiler (2004) menyatakan bahwa sebagian guru dan pustakawan menyadari kuantitas/jumlah pelajar yang tidak mampu berpikir kritis. Hal ini berkaitan dengan cara penyampaian pembelajaran yang diberikan oleh lingkungannya.
b) Apa peran guru/pengajar dalam rendahnya pemikiran kritis pelajar?
Ennis (1996), Paul dan Elder(2008) dan Fisher (2006) mengemukakan simpulan mengenai kelemahan seseorang, yaitu menilai sesuatu jika standar kebenarannya belum diketahui kebenaran/kepastiannya serta bersifat fleksibel, seringkali menyebabkan pengambilan keputusan yang dangkal, ambigu dan tidak logis.
Salah satu peran guru adalah membimbing. Maka, perlu adanya bimbingan mengenai cara berpikir kritis yang dapat berdampak terhadap pengambilan keputusan siswa.
Tapi kenyataannya, kebanyakan proses pembelajaran adalah dengan menyimak penjelasan guru. Hal tersebut tidak dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Karena salah satu cara melatih pemikiran kritis adalah dengan diskusi (dua arah) yang terarah terhadap suatu masalah.
Selain itu, pembelajaran dan asesmen yang diberikan cenderung menekankan pada kemampuan pelajar dalam menghafal dan praktik di laboratorium. Otomatis pelajar jauh lebih mengandalkan hafalan teori dan tata cara sesuai praktik yang diajarkan. Tentu hal tersebut juga dipengaruhi oleh bagaimana mereka menyerap, melihat (baca: perspektif) dan mengolah informasi yang dimiliki.
Berdasarkan penelitian Rodrigues and Oliveira (2008), banyak pengajar tidak mengajarkan kemampuan berpikir tingkat tinggi dalam proses pembelajaran serta diberikannya tugas yang mengukur kemampuan berpikir tingkat rendah, tidak akan berpengaruh pada pembentukan keterampilan tingkat tinggi peserta didik.
Mitrevski dan Zajkov (2012) juga menunjukkan bahwa menghafal informasi tidak bisa mengembangkan pemikiran kritis. Praktik di laboratorium dianggap tidak efektif dalam mengembangkan pemikiran kritis.
Simpulan
Dengan berpikir kritis, pelajar akan lebih mudah memahami materi pembelajaran secara tekstual, visual dan makna. Maka, berpikir kritis dapat mempengaruhi keberhasilan akademik. Tapi hubungan antara nilai akademis tinggi dan kemampuan berpikir kritis tinggi bersifat lemah. Nilai akademis tidak dapat menjadi tolok ukur kemampuan berpikir kritis pelajar, dan sebaliknya. Banyak faktor yang mempengaruhi kedua hal tersebut.
Tinggalkan komentar di bawah jika ada pertanyaan, tanggapan, ataupun sanggahan. Jangan lupa berlangganan blog Edukasi Bercerita untuk mendapatkan notifikasi terbaru seputar pendidikan setiap pekannya.
Daftar Pustaka
Commentaires